
Biarlah dunia menghakimi,
karena mereka tak tahu,
inilah caraku mencintai—
dengan diam yang tak riuh,
dengan hati yang tak henti menyebut namanya: Ibu.
Tak banyak untaian kata,
tapi bayangnya menetap di tiap pikir,
di setiap detak langkah yang kutempuh sendiri.
Jarak adalah pengorbanan,
namun senyum dan bingkisan kecil dariku—
itulah obat rindu yang kupunya.
Aku berjalan sendiri,
di lorong-lorong sepi perjuangan,
tanpa peluk, tanpa hiburan,
malam terasa bisu,
namun tak pernah benar-benar kosong—
karena masih ada Tuhan.
Dalam sujud panjang,
aku titipkan rinduku,
aku sandarkan segala lelahku,
aku bisikkan namanya,
dan harapanku akan hari yang lebih indah.
Aku ingin ada yang menemani,
mengisi ruang hati yang sunyi ini,
namun kutahu—
waktu belum mempertemukanku
dengan bidadari yang tepat,
yang dicipta sebagai jawaban
atas sabarku, ikhtiarku,
dan tawakal yang kupanjatkan setiap malam.
Maka biarlah aku tetap begini,
mencintai tanpa sorot,
berjuang tanpa ramai,
dan bersandar hanya pada Tuhan—
karena cinta ini,
untuk Ibu, dan untuk masa depan
yang kutunggu dalam doa.