
Di sebuah kota yang dulu ramai oleh suara mesin dan tawa dari kantin pabrik, kini hanya terdengar suara angin dan pintu besi yang berderit malas. Di sanalah Dudley Fern duduk setiap pagi, di bangku kayu tua yang menghadap ke gedung-gedung kosong, dengan map cokelat di pangkuannya dan kemeja terbaiknya yang kini mulai memudar di bagian kerah.
Dulu, ia adalah kepala gudang di pabrik tekstil terbesar di kota itu — pekerja teladan yang hafal semua jadwal pengiriman tanpa perlu komputer. Tapi suatu hari, datanglah surat pendek dalam amplop panjang: pemberitahuan PHK.
“Efisiensi,” kata mereka. “Digitalisasi. Perampingan.”
Kata-kata dingin yang tak menyisakan ruang untuk rasa. Seperti sihir yang buruk, semuanya lenyap dalam semalam: gaji, rutinitas, dan harga dirinya.
Sejak itu, Dudley memulai ritual baru: bangun sebelum fajar, mengenakan kemeja yang sudah disetrika kemarin malam, menyisir rambut yang makin menipis, dan berjalan ke stasiun kerja — bukan untuk bekerja, tapi untuk mencari pekerjaan.
Ia sudah mengunjungi lebih dari dua puluh kantor. Semua dengan wajah yang sama: ramah tapi kaku, tersenyum tapi hambar.
“Maaf, Pak Dudley. Kami mencari yang lebih muda… yang lebih digital.”
Dudley ingin bertanya apakah kemanusiaan juga kini punya batas usia dan format PDF.
Setiap kali ditolak, ia kembali ke bangku kayu di ujung kota. Ia akan duduk di sana, membuka mapnya, memperbaiki posisi dasinya, dan memandangi langit.
Hingga suatu hari, seorang anak kecil datang menghampirinya. Anak itu membawa kertas-kertas lipat dan pena warna.
“Paman lagi nunggu kerja, ya?” tanyanya polos.
Dudley tersenyum, sedikit getir. “Iya, Nak.”
“Aku juga pernah sedih waktu kehilangan boneka. Tapi kata Ibu, kalau kita bikin sesuatu pakai tangan kita sendiri, sedihnya bisa sembuh.”
Anak itu menyerahkan selembar kertas bergambar: sebuah bangunan dengan tulisan “Kantor Pak Dudley” dan dirinya sedang duduk di kursi besar.
“Itu kantor Paman di masa depan,” ucap si anak, lalu berlari pergi begitu saja, seperti peri kecil yang muncul hanya untuk mengubah suasana hati.
Hari itu, Dudley tak langsung pulang. Ia menatap gambar itu lama sekali. Dan untuk pertama kalinya sejak kehilangan pekerjaannya, ia menangis. Bukan karena putus asa, tapi karena seseorang—meski kecil—percaya padanya.
Besok paginya, ia bangun lebih awal. Ia tak hanya membawa map cokelat, tapi juga pulpen, dan secarik kertas kosong. Ia duduk di bangku kayu itu dan mulai menulis sesuatu. Mungkin ide. Mungkin rencana. Mungkin… lembar pertama dari sesuatu yang akan dia bangun sendiri.
Karena dalam dunia yang makin tak menentu, kadang harapan datang dari tempat yang paling tak terduga — seperti gambar dari seorang anak, atau bangku kayu di ujung kota.
Edy Susanto, Cirebon 14 Mei 2025