
Hari itu, langit tampak jernih seperti kaca, dan udara menggantung dengan harapan yang tak terlihat. Di desa kecil bernama Aruna yang tersembunyi di balik perbukitan, Waisak datang seperti dongeng lama yang kembali dihidupkan.
Anehnya, meski sudah sepuluh tahun tinggal di desa itu, Aidan—anak laki-laki berusia dua belas tahun dengan rambut kecokelatan dan rasa ingin tahu yang tak pernah habis—tidak pernah benar-benar memahami apa yang dirayakan saat Waisak.
Ia hanya tahu: setiap tahun, semua orang mengenakan pakaian putih, bunga-bunga disebar ke sungai, dan lentera-lentera dilepaskan ke langit seperti kunang-kunang yang pulang ke bintang.
Tapi tahun ini berbeda. Tahun ini, Aidan merasa seolah ada yang memanggilnya dari dalam dirinya. Ia tidak tahu siapa atau apa. Hanya… rasa rindu, seperti mendengar nyanyian lama yang tak pernah ia hapal, tapi terasa akrab di hati.
“Nenek,” katanya sore itu sambil membantu menggantung lentera di pohon mangga, “apa sebenarnya makna Waisak?”
Neneknya berhenti mengikat tali dan menatap Aidan. Matanya yang penuh keriput menyimpan sesuatu yang tak bisa dibaca hanya dengan logika.
“Waisak,” ucapnya pelan, “adalah saat kita mengenang kelahiran, pencerahan, dan wafatnya Sang Buddha. Tapi lebih dari itu, Waisak adalah saat kita pulang ke dalam diri sendiri. Mengingat siapa kita, dari mana kita datang, dan apa makna hidup ini.”
Aidan mengerutkan dahi. “Tapi… kenapa kita melepas lentera?”
Nenek tersenyum. “Karena kita semua punya beban yang ingin dilepaskan, harapan yang ingin diterbangkan. Lentera adalah doa yang tak butuh suara.”
Malam pun tiba. Danau kecil di ujung desa itu menjadi lautan cahaya. Orang-orang berlutut di pinggirannya, menggenggam lentera kertas, menyalakan lilin kecil di tengah, lalu melepaskannya perlahan ke permukaan air yang tenang.
Aidan memegang lentera miliknya erat-erat. Ia belum tahu apa yang harus ia doakan. Tapi saat ia menatap pantulan bintang di air, ia tiba-tiba teringat sesuatu—atau mungkin seseorang.
Ibunya.
Ia meninggal saat Aidan masih kecil, dan ia tak punya banyak kenangan, hanya satu—suara perempuan bernyanyi lembut sambil menidurkannya.
Dengan hati yang bergetar pelan, Aidan membisikkan sesuatu ke dalam lentera.
“Semoga Ibu bahagia, di mana pun Ibu berada. Semoga aku bisa menjadi cahaya, seperti yang Ibu pernah doakan.”
Lalu, dengan napas dalam-dalam, ia melepaskannya.
Lentera itu meluncur perlahan ke tengah danau, bergabung dengan ratusan lentera lain, menyala lembut seperti doa-doa tanpa nama.
Dan entah mengapa, malam itu Aidan merasa lebih ringan. Lebih damai. Seperti baru saja pulang dari perjalanan jauh, walau kakinya tak pernah melangkah ke mana-mana.
Di langit, bulan menggantung penuh. Angin membawa suara lonceng dari vihara di atas bukit, dan untuk sesaat, dunia terasa sangat dekat dengan surga.
Waisak, pikir Aidan, bukan hanya hari raya. Ia adalah jendela menuju keheningan—tempat di mana cinta, kehilangan, dan harapan bisa duduk bersama, tanpa perlu banyak kata.
Cirebon 12 Mei 2025