
Ada cinta yang terang,
terucap dalam kata, tertulis dalam layar,
peluk yang hangat, senyum yang lebar—
anak yang tak segan menyebut,
“Ibu, aku cinta.”
Namun ada pula cinta yang senyap,
tak bersuara,
namun berbicara lewat tindak nyata.
Ia tak merangkai kata,
tapi menenun cinta dalam kerja,
dalam doa yang lirih,
dalam letih yang tak pernah ia ceritakan.
Semua anak rindu pelukan,
ingin kembali pada pangkuan yang tenang,
namun tiap jiwa punya jalan,
menyusun makna sayang dengan caranya masing-masing.
Ada yang mencintai ibunya seperti puisi,
dan ada yang menjadi puisi itu sendiri,
dalam diam, dalam setia,
dalam keberanian membela saat ibunya terluka.
Jika dunia mengusik,
anak itu berdiri di garda terdepan—
menjadi tameng dari duri,
menjadi cahaya di tengah gelap,
demi senyum sang ibu kembali merekah.
Sebab, untuk seorang anak,
Ibu adalah segalanya.
Ia akan menjelma segala cara,
menjadi pelipur lara,
menjadi alasan bahagia,
agar Ibu tahu:
di dunia ini,
ada satu hati yang selalu setia mencintanya.