
Namaku El Qolam—pena yang ingin menulis bukan sekadar cerita, melainkan perjalanan hati dan makna syukur. Aku adalah satu dari sekian banyak santri yang hidup dari uluran tangan para dermawan, dari sedekah yang disalurkan dengan ikhlas melalui Zakat Center. Tapi hari itu, di Leles, aku merasa bukan sebagai penerima. Aku adalah bagian dari keluarga, dari tawa, peluh, dan kerja sama. Aku adalah pelaku kisah.
Perjalanan menuju Buper Leles bukan hanya tentang kaki yang melangkah, tetapi tentang jiwa yang ditempa. Kami memanggul semangat dalam ransel sederhana, menghadapi rintangan outbound layaknya cobaan hidup yang mendewasakan. Dan di akhir hari, kami tak hanya membawa pulang rantang berisi hadiah, tapi hati yang penuh dengan rasa cukup, persaudaraan, dan cinta tak bersyarat.
Inilah kisah kami—kisah santri yang berjuang, yang bermimpi, yang tidak hanya menunggu uluran tangan, tapi juga belajar menggenggam masa depan. Dan aku, El Qolam, akan menuliskannya. Karena setiap langkah kami pantas diabadikan. Karena dalam setiap rantang kebahagiaan, tersembunyi doa yang terus mengalir: semoga dunia ini masih mau mendengar kisah kecil dari anak-anak besar harapan.
Minggu pagi itu, langit Majalengka bersih tak berawan, seolah ikut merayakan semangat kami. Angin sejuk dari kaki Gunung Ciremai menyapu lembut wajahku ketika kami bersiap menuju lokasi outbound di Buper Leles, Curug Majalengka. Hari ini, hati kecilku dipenuhi kegembiraan. Bukan hanya karena bisa keluar dari rutinitas pesantren dan sekolah, tapi karena kami—para santri, penerima beasiswa, dan para mustahik—akan berkumpul, menyatu dalam tawa dan kerja sama dalam kegiatan yang tak biasa.
Perjalanan menuju Buper Leles bukan tanpa rintangan. Setelah kendaraan tak mampu menembus jalanan berbatu dan belum diaspal, kami harus melanjutkan dengan berjalan kaki. Tapi justru di sanalah kami menemukan keindahan yang tidak tergantikan: pohon-pohon durian dan rambutan menjulang tinggi, udara segar tanpa polusi, dan alam yang berbicara dalam diamnya. Meski lelah, setiap langkah terasa bermakna. Ada bisikan syukur dalam hati, betapa indah ciptaan-Nya.
Setibanya di lokasi, hamparan alam yang asri menyambut kami. Buper Leles berdiri di pelukan rimbunnya pepohonan, dekat dengan Ciremai yang gagah. Udara dingin menyelinap ke kulit, tetapi hangat terasa di dada karena semangat dari wajah-wajah yang tak asing. Di sinilah silaturahmi diperkuat, bukan hanya melalui kata, tetapi melalui kebersamaan dan kerja sama.
Kegiatan outbound dimulai. Kami dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, dan setiap kelompok diberi tantangan demi tantangan. Rintangan demi rintangan seakan menggambarkan jalan hidup—penuh ujian, namun selalu ada cara untuk melewati, selama kita bersama.
Aku dan temanku mengikuti semua instruksi dari panitia dengan antusias. Permainan flying fox menjadi yang paling mendebarkan. Meluncur dari atas pohon, seolah terbang di atas dunia, membuat kami melupakan semua penat dari pelajaran dan hafalan. Lalu ada jaring laba-laba yang harus kami panjat, tambang yang harus diseberangi, dan jembatan bambu yang menguji keseimbangan. Setiap tantangan membawa gelak tawa, semangat, dan kehangatan.
Di sela-sela itu, kakak panitia selalu menyemangati kami, “Ayo semangat! Jangan menyerah!” Dan kami pun tergerak. Saling membantu, saling menguatkan. Rasanya, silaturahmi ini tidak hanya terikat oleh nama program, tapi oleh rasa sebagai satu keluarga besar—keluarga Zakat Center.
Setelah semua kegiatan selesai, kami berkumpul di lapangan untuk acara penutupan. Direktur Zakat Center, Pak Anwar Musaddad, berdiri di depan kami dengan senyum hangat.
“Semoga acara ini bermanfaat bagi semuanya,” ucap beliau. “Dan semoga tahun depan, kita outbound-nya di Bali ya!”
Sontak tawa dan tepuk tangan menggema. “Amin!” seru kami serentak. Beliau menambahkan, “Tapi saya nggak janji ya, semoga saja mimpi ini bisa tercapai.”
Aku ikut mengaminkan, dalam hati menyimpan harapan yang sama.
Di akhir acara, diumumkan pemenang lomba. Aku dan timku tak menyangka menjadi salah satu yang terbaik. Kami menerima hadiah—sebuah rantang plastik modern. Bukan soal hadiahnya, tapi tentang kebersamaan dan perjuangan yang telah kami lewati bersama.
Sebelum meninggalkan tempat itu, aku menatap langit dan mengucap doa dalam diam. Semoga semua yang telah menyumbang, baik zakat, infak, sedekah, atau hanya sekadar doa, dibalas dengan keberkahan tak terhingga. Karena tanpa mereka, aku mungkin tak pernah punya kesempatan untuk mondok, makan, dan sekolah secara gratis. Aku adalah satu dari sekian banyak yang dibantu. Dan hari ini, aku merasa begitu dihargai, begitu dicintai.
Langit mulai menguning. Kami pun berkemas, membawa pulang bukan hanya rantang atau kenangan, tapi juga hati yang lebih kaya akan syukur dan persaudaraan.
Masudi Sang Pena